Harmoni Alam dan Budaya: Sistem Agroforestri Salak Bali Resmi Jadi Khazanah Pertanian Global

Author:

Di tengah upaya global untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan pangan, Sistem Agroforestri salak Bali telah mencuri perhatian dunia. Melalui perpaduan unik antara kearifan lokal dan praktik pertanian yang ramah lingkungan, sistem ini telah resmi ditetapkan sebagai Warisan Pertanian Penting Dunia (GIAHS) oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Pengakuan ini menegaskan bagaimana harmoni antara alam dan budaya dapat menciptakan khazanah pertanian global yang patut dipelajari dan dilestarikan.

Sistem Agroforestri salak Bali, yang banyak ditemukan di wilayah Karangasem, adalah contoh sempurna dari pertanian berkelanjutan. Berbeda dengan monokultur, petani setempat mengintegrasikan pohon salak dengan berbagai jenis tanaman lain seperti mangga, pisang, dan tanaman obat-obatan. Integrasi tanaman ini tidak hanya meningkatkan keanekaragaman hayati lahan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang seimbang. Pohon-pohon besar memberikan naungan yang dibutuhkan salak, sementara akar tanaman lain membantu menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi. Pengakuan GIAHS oleh FAO secara resmi diumumkan pada 19 September 2024, menyoroti model pertanian adaptif ini.

Inti dari Sistem Agroforestri ini adalah filosofi “Tri Hita Karana”, yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Filosofi ini tercermin dalam cara petani Bali mengelola sumber daya alam secara bijaksana, termasuk penggunaan sistem irigasi tradisional Subak yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Sistem Subak memastikan distribusi air yang adil dan efisien, mendukung pertumbuhan tanaman salak bahkan di daerah yang lebih kering sekalipun.

Selain manfaat ekologis, Sistem Agroforestri salak Bali juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Praktik zero-waste, di mana setiap bagian dari pohon salak dimanfaatkan (mulai dari buah, daun untuk pakan/kompos, hingga batang untuk kerajinan), meningkatkan efisiensi dan mengurangi limbah. Hal ini tidak hanya mendukung mata pencarian petani lokal tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan daerah. Sebuah laporan dari Dinas Pertanian Provinsi Bali pada akhir tahun 2023 mencatat peningkatan rata-rata pendapatan petani salak Karangasem sebesar 10% berkat praktik pemanfaatan limbah.

Dengan demikian, Sistem Agroforestri salak Bali bukan hanya sekadar metode bertani; ia adalah manifestasi nyata dari harmoni alam dan budaya. Pengakuan global ini menegaskan nilai universal dari kearifan lokal Bali dalam menyediakan solusi inovatif untuk tantangan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan di tingkat global.